BagusNews.com –
Menjadi seorang dokter spesialis bukanlah perkara yang mudah. Mereka yang ingin mewujudkan impian menjadi dokter spesialis harus melewati jalan yang sulit dan penuh liku.
Tidak hanya terbatasnya kuota penerimaan dibandingkan dengan jumlah peminat yang banyak, tetapi juga masalah biaya yang harus dikeluarkan dengan jumlah yang besar. Mulai dari biaya kuliah yang sangat membebani, hingga biaya lain di luar pendidikan yang sama-sama memberatkan.
Masalah-masalah non-teknis seperti senioritas yang sangat kuat juga menjadi hambatan bagi calon dokter spesialis untuk mencapai harapan mereka.
Seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), yang tidak ingin disebutkan identitasnya, mengungkapkan betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan selama menjalani pendidikan selama 10 semester sebagai calon dokter spesialis.
“Iuran masuk sekitar Rp30 juta. Sementara biaya per semester mencapai Rp26 juta,” ungkapnya.
Selain biaya pendidikan tersebut, setiap mahasiswa PPDS juga harus mengeluarkan biaya tambahan yang tidak resmi. Biaya tersebut bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Dia menjelaskan bahwa lembaga pendidikan tempat ia menempuh PPDS menyebutkan bahwa biaya tambahan tersebut digunakan untuk keperluan selama perkuliahan, seperti pelatihan atau workshop di berbagai daerah.
“Biaya tersebut digunakan untuk mengikuti simposium atau workshop di luar kota, seperti biaya penginapan dan sebagainya. Biaya tersebut disubsidi sebagian dari ‘deposit’, tetapi tidak sepenuhnya ditanggung. Kita tetap harus mengeluarkan uang sendiri,” katanya.
Seorang mahasiswa PPDS lain juga setuju bahwa biaya selama pendidikan sangat mahal. Hal ini termasuk adanya biaya ‘deposit’ yang harus disetor ke departemen di lembaga pendidikan tinggi.
Menurutnya, ada ketidaktransparanan dari lembaga pendidikan mengenai biaya yang tidak resmi ini. Dia curiga bahwa hal ini disebabkan karena biaya tersebut tidak sah secara resmi, sehingga tidak etis jika diumumkan di situs web.
“Tidak semua informasi dan biaya ditampilkan di situs web. Ini berarti ada informasi dan biaya-biaya yang kita ketahui setelah lolos ujian tahap akhir,” ujarnya kepada CNNIndonesia.
Pasal Pertama: Senior adalah Raja
Tidak hanya biaya pendidikan, biaya tambahan di luar pendidikan juga sama. Dia memberikan contoh bahwa selama tiga semester dalam PPDS ini, ia sering kali harus menanggung berbagai keperluan sehari-hari para senior.
Biaya non-pendidikan tersebut harus dikeluarkan saat mengikuti sistem residensi atau praktik bersama senior di rumah sakit.
Menurutnya, agar menjadi dokter spesialis yang sah setelah lulus, setiap peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) harus mampu melakukan tindakan medis seperti operasi. Untuk dapat melakukannya, peserta PPDS harus mengikuti program residensi dengan senior.
Namun, selama mengikuti program residensi dengan senior, mahasiswa PPDS yang masih junior harus mengeluarkan biaya “tak terduga” lainnya. Sebagai contoh, mereka harus membayar biaya makan senior hampir setiap hari, yang seringkali tidak pernah diganti selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
“Biayanya mencapai jutaan rupiah. Saya mengerti jika senior-senior tidak memiliki waktu untuk membeli makanan di ruang operasi, sehingga junior-junior ini diminta untuk membelikan mereka makanan. Masalahnya, kita harus mengeluarkan uang sendiri, dan terkadang ada banyak senior yang tidak mengganti biaya makan tersebut,” ujarnya.
Selain itu, selama menjalani program residensi, para junior wajib tunduk pada senior. Mereka harus memastikan bahwa selama residensi tidak melakukan kesalahan, meskipun kesalahan tersebut sepele.
Jika terjadi kesalahan, satu angkatan junior tersebut akan menerima hukuman dari senior. “Salah satu hukumannya adalah harus jongkok dan mendapatkan teguran dari malam hingga dini hari atau subuh. Kami juga sering dihukum melakukan push up,” keluhnya.
“Sementara itu, di pagi hari kami harus mulai bekerja lagi, mengganti perban pasien, memeriksa kondisi pasien, dan tugas-tugas lainnya. Jadi secara fisik kami merasa lelah, tetapi kami harus menjaga nol kesalahan,” tambahnya.
Dia juga menambahkan bahwa jika junior tidak patuh terhadap senior, mereka dapat dikeluarkan dari program residensi karena dianggap memberontak. Jika hal tersebut terjadi, mereka tidak dapat lagi ikut dalam tindakan medis seperti operasi bersama senior.
Efek dominannya ketika yang bersangkutan lulus. Junior yang tidak dapat mengikuti program residensi selama studi pasca spesialisasi dokter (PPDS) akan kehilangan legitimasi sebagai dokter spesialis karena tidak memiliki keterampilan dalam melakukan tindakan.
“Hanya belajar secara akademis, tetapi kami tidak memiliki kemampuan praktik karena tidak ada pendampingan dari senior. Jadi pada akhirnya kami dapat lulus sebagai dokter spesialis, misalnya spesialis ortopedi, tetapi tidak dapat melakukan operasi. Apa gunanya? Ini menjadi dilema,” tambahnya.
Peserta PPDS lainnya juga mengeluhkan masalah hierarki ini. Menurut mereka, senior dalam sistem residensi adalah seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak yang harus dihormati oleh para junior.
Tak jarang senior meminta para junior residensi untuk membelikan makanan berat, pizza, kopi modern, atau menyewa lapangan futsal atau bulu tangkis untuk mereka.
“Yang sulit adalah biaya di luar pendidikan, seperti sewa lapangan futsal, bulu tangkis, makanan senior sepanjang hari, peralatan kantor, obat-obatan. Itulah yang sulit,” ujarnya.
“Kami akhirnya menjadi pelayan dan mendukung gaya hidup senior kami. Itu adalah hal yang biasa. Semua orang tahu, tetapi tidak semua orang membicarakannya,” tambahnya.
Akhirnya, karena biaya yang harus dikeluarkan selama PPDS begitu banyak, dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari pendidikan tersebut. Dia mengakui bahwa dia tidak mampu karena harus terus-menerus menghabiskan uang untuk hal-hal di luar pendidikan.
“Saya tidak memiliki cukup uang untuk menyelesaikan pendidikan selama sekitar 4-5 tahun. Kami berpikir bahwa interaksi ini saja sudah menghabiskan banyak biaya, berapa banyak lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk masa pendidikan selama 5 tahun,” pungkasnya.