BagusNews.com –
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di dalam negeri mengalami kemunduran yang disebabkan oleh impor barang dari China. Terutama, perusahaan yang fokus pada pasar dalam negeri terdampak paling parah.
Selain itu, barang impor dari China dikenal dengan harga yang murah.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, kondisi tersebut membuat industri TPT lebih tertekan daripada industri sepatu. Terlebih lagi, banyak perusahaan TPT di Indonesia memiliki modal terbatas.
“Kami telah mengimbau tentang serbuan produk impor ini selama puluhan tahun. Kami berharap agar impor ilegal dihentikan. Banyak perjanjian perdagangan dan sejenisnya yang membuat serbuan impor semakin bebas. Akibatnya, produsen dalam negeri mati,” ujar Ristadi pada Kamis (8/6/2023).
Di sisi lain, Ristadi mengakui bahwa barang impor, terutama dari China, memang murah dan memiliki kualitas yang baik.
“Harga kain katun impor dari China hanya Rp15.000 per meter, sementara jika diproduksi lokal, harganya menjadi Rp30.000 per meter. Sungguh sulit dipahami bagaimana cara mereka (China) menghitung biayanya,” ungkap Ristadi.
“Dan inilah yang menyebabkan pabrik kain yang sebelumnya memasok kain ke perajin Batik di Pekalongan beralih menjadi importir kain dari China. Mereka menjadi semacam perantara di sana. Para perajin Batik sekarang menggunakan kain dari China karena mereka menyadari bahwa itu adalah hukum pasar, mencari barang yang murah dan bagus. Ini menjadi momok yang menakutkan, ini adalah lingkaran setan yang telah kita peringatkan selama puluhan tahun,” tambahnya.
Setelah melakukan penyelidikan, Ristadi menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang membuat barang dari China bisa diproduksi dengan harga lebih murah.
“Tidak hanya dari segi upah, biaya produksi di China lebih efisien. Mulai dari pelayanan, insentif, harga energi, hingga infrastruktur yang berdampak pada biaya produksi. Perizinan di sini memang sudah mengarah ke efisiensi,” jelasnya.
“Selain itu, berbicara tentang upah, ada kesalahpahaman di sini mengenai upah minimum, dianggap sebagai upah maksimum. Perusahaan menganggap penting untuk mengikuti aturan. Akibatnya, upah bagi pekerja baru dan pekerja yang telah bekerja puluhan tahun menjadi sama,” kata Ristadi.
Meskipun tidak dapat menghubungkan kedua hal tersebut secara langsung, Ristadi menduga bahwa hal tersebut mungkin berdampak pada produktivitas pekerja.
“Produktivitas pekerja di China memang lebih tinggi. Misalnya, di pabrik sepatu, pekerja China bisa melakukan 1,5 hingga 2 kali lebih banyak daripada pekerja Indonesia dalam waktu yang sama. Padahal, upah pekerja China tetap sama, apakah mereka melakukan lebih banyak atau tidak,” ungkapnya.