BagusNews.com –
Sikap organisasi-organisasi Islam dan pemerintah Indonesia yang cenderung meredam suara mereka terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnik minoritas Uighur di Xinjiang, China, tampaknya berkaitan dengan pertimbangan ekonomi.
Namun, perwakilan pemerintah membantah klaim tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia menerapkan “pendekatan diplomasi yang bersifat santun dan seimbang” terhadap masalah ini.
Masduki Baidlowi, Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang juga menjadi juru bicara Wakil Presiden, menolak klaim bahwa organisasinya telah dipengaruhi oleh China terkait isu Muslim Uighur.
Ia menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak mengadopsi tindakan yang provokatif atau apa yang ia sebut sebagai “megafon diplomasi,” melainkan lebih memilih jalur diplomasi yang lembut.
“Indonesia menerapkan pendekatan diplomasi yang bersifat santun namun seimbang. Pendekatan yang bersifat santun tidak berarti lemah; kami tetap mengambil tindakan yang diperlukan,” ungkap Masduki kepada BBC News Indonesia pada Rabu, 18 Desember.
Berbagai laporan menyebutkan bahwa ratusan ribu Muslim Uighur dikurung di kamp-kamp dan dikenakan proses yang disebut sebagai “pencucian otak,” meskipun pemerintah China mengklaim bahwa pelatihan tersebut berjalan atas dasar suka rela.
Tudingan bahwa pemerintah China memberikan dana kepada organisasi Islam terbesar di Indonesia agar mereka tidak mengangkat isu penderitaan Muslim Uighur di Xinjiang langsung diingkari oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Namun, Masduki Baidlowi menegaskan bahwa tudingan tersebut tidak berdasar. Ia menyatakan bahwa kunjungan perwakilan organisasinya bersama Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke Xinjiang pada Februari sebelumnya bertujuan untuk memverifikasi laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan kamp-kamp konsentrasi yang diperuntukkan bagi Muslim Uighur di wilayah tersebut.
Setelah melakukan kunjungan tersebut, Masduki mengakui bahwa sebagian besar laporan tersebut benar, meskipun ada yang tidak. Menurutnya, ada bukti bahwa ada pelatihan besar-besaran yang dilakukan di kamp-kamp tersebut, terutama untuk orang-orang yang terpapar radikalisme.
Namun, yang menjadi perhatian mereka adalah bahwa saudara-saudara Muslim di sana tidak memiliki hak penuh untuk beribadah, terutama dalam hal kebebasan beragama. Hal ini merupakan isu yang penting bagi mereka.
Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, juga menolak tudingan tersebut dan menyatakan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar. Mereka menjelaskan bahwa kunjungan mereka ke Xinjiang atas undangan pemerintah China tidak mengubah sikap mereka terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Sekjen Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa organisasi mereka akan tetap teguh dalam menyampaikan pandangan mereka berdasarkan prinsip-prinsip amar ma’ruf nahi munkar.
Dia juga mendesak pemerintah Indonesia untuk lebih aktif dalam menangani masalah pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang sesuai dengan konstitusi dan politik luar negeri yang bebas dan aktif.
Kunjungan delegasi organisasi Islam dari Indonesia ke Xinjiang mengungkapkan bahwa kebebasan beragama bagi Muslim Uighur di wilayah tersebut sangat dibatasi, dengan aturan yang melarang praktik agama di ruang terbuka. Ini menyebabkan mereka yang mengenakan jilbab di luar ruangan dianggap radikal dan dapat dikirim ke pusat “pendidikan ulang.”
Muhyiddin Junaidi, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengungkapkan bahwa selama berada di pusat “pendidikan ulang,” Muslim Uighur tidak diperbolehkan beribadah, berpuasa, membaca Al Quran, dan hanya boleh makan makanan yang disediakan oleh pemerintah dengan pengawasan ketat.
Laporan ini konsisten dengan temuan berbagai lembaga internasional. Meskipun NU dan Muhamadiyah menyangkal menerima dana dari pemerintah China, lembaga pemikir IPAC mengungkap bahwa hubungan positif antara dua organisasi Islam besar di Indonesia dengan pemerintah China telah berlangsung lama.
Menurut IPAC, keduanya telah menjalin kerja sama dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. Pemerintah China juga memberikan donasi kepada mereka untuk anak yatim piatu dan fasilitas sanitasi.
Namun, peneliti IPAC, Deka Anwar, menegaskan bahwa hubungan ini tidak berarti mereka bungkam terkait pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. Dia menyatakan bahwa alasan Indonesia cenderung meredam isu ini adalah karena investasi besar yang diberikan oleh China dan ketidaksepakatan di antara masyarakat Muslim Indonesia sendiri terkait pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.
Namun, Masduki Baidlowi menyangkal klaim tersebut dan mengatakan bahwa kerja sama dengan China dalam bidang pendidikan tidak hanya terbatas pada pemerintah China. Mereka juga menjalin hubungan baik dengan negara-negara lain.
Masduki menekankan bahwa kerja sama ini bertujuan untuk mempromosikan ajaran Islam yang moderat di seluruh dunia, karena NU adalah representasi Islam moderat di Indonesia.
Dia juga mencontohkan bagaimana Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, secara langsung mengajukan pertanyaan kepada pemerintah China mengenai isu Muslim Uighur dalam pertemuan internasional.
Meskipun Indonesia mungkin tidak bersuara sekuat negara-negara Barat dalam mengkritik pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Uighur, mereka masih berpartisipasi dalam upaya diplomasi dan membawa isu ini ke perhatian pemerintah China