BagusNews.com –
Ekonomi Cina menghadapi tantangan yang besar setelah pandemi Covid-19 mereda. Pertanyaannya adalah, apa yang sedang terjadi dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini?
Indeks harga konsumen mengalami penurunan, krisis di sektor real estat semakin mendalam, dan performa ekspor mengalami penurunan. Tingkat pengangguran di kalangan generasi muda mencapai tingkat yang sangat tinggi, sehingga pemerintah Cina memutuskan untuk tidak lagi mengumumkan data pengangguran.
Kondisi ini semakin rumit dengan sejumlah perusahaan properti dan perusahaan investasi yang kesulitan memenuhi kewajibannya kepada para investor dalam beberapa pekan terakhir. Faktor-faktor ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa penurunan dalam sektor perumahan akan memberikan tekanan tambahan pada stabilitas sektor keuangan.
Beberapa lembaga internasional telah mengurangi proyeksi pertumbuhan ekonomi Cina untuk tahun ini menjadi di bawah 5%. Sebagai contoh, Morgan Stanley memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Cina akan tumbuh sekitar 4,7% pada tahun 2023, yang lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sekitar 5%. Tim ekonom Morgan Stanley, yang dipimpin oleh Robin Xing, mengaitkan penurunan proyeksi ini dengan perlambatan belanja modal yang lebih dalam dalam konteks upaya penurunan utang sektor properti, serta penurunan ekspor.
Moody’s, lembaga pemeringkat lainnya, juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Cina pada tahun 2024 menjadi sekitar 4%, dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya sekitar 4,5%. Meskipun demikian, Moody’s masih mempertahankan prediksi pertumbuhan ekonomi Cina untuk tahun 2023 sekitar 5%.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga telah menurunkan proyeksi PDB Cina untuk tahun ini menjadi sekitar 5,1%, dari sebelumnya sekitar 5,15%. Dan pada tahun 2024, OECD bahkan memperkirakan perlambatan ekonomi ini akan berlanjut, dengan pertumbuhan yang hanya mencapai sekitar 4,9%.
Krisis di sektor properti menjadi titik awal masalah bagi perekonomian Cina sejak bulan April yang lalu. Namun, situasi semakin memburuk ketika Country Garden, pengembang properti dengan penjualan tertinggi di Cina, mengalami kegagalan membayar bunga dua obligasi senilai US$ 22 juta yang jatuh tempo pada Agustus 2023.
Kejadian ini langsung mengingatkan investor pada kasus gagal bayar Evergrande pada tahun 2021, yang menjadi tanda awal krisis di sektor properti Cina. Hingga saat ini, Evergrande masih dalam proses restrukturisasi utang dengan para kreditur. Pemerintah Cina telah mengambil berbagai kebijakan untuk mendukung pasar properti, termasuk pemangkasan suku bunga, dalam upaya untuk menghidupkan kembali penjualan properti. Namun, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks.
Krisis di sektor properti telah merembet ke industri dana investasi real estat (REITs). Zhongrong Trust, sebuah perusahaan investasi yang mengelola dana nasabah kaya dan klien korporasi, tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran untuk serangkaian produk investasi senilai US$ 19 juta. Julian Evans-Pritchard, Kepala Ekonom Cina di Capital Economics, mengatakan bahwa “kerugian lebih lanjut di pasar properti berisiko menyebar dan menyebabkan ketidakstabilan keuangan yang lebih luas.”
Menurut Evans-Pritchard, masyarakat saat ini semakin banyak yang menempatkan tabungan mereka dalam obligasi pemerintah dan deposito, yang dianggap sebagai instrumen yang paling aman. Ini berpotensi menyebabkan masalah likuiditas di lembaga keuangan non-bank.
Cina juga menghadapi masalah utang pemerintah daerah yang meningkat tajam karena pendapatan mereka dari sektor properti, terutama penjualan lahan, mengalami penurunan. Lonjakan utang pemerintah daerah ini juga dipicu oleh lockdown yang diberlakukan selama pandemi Covid-19.
Tekanan fiskal ini tidak hanya membahayakan perbankan Cina, tetapi juga membatasi kemampuan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan layanan publik. Para pemimpin pemerintah saat ini belum memberikan stimulus besar-besaran, karena Cina harus menghadapi beban utang yang signifikan setelah meluncurkan paket fiskal senilai 4 triliun yuan atau sekitar US$ 586 miliar untuk mengatasi dampak krisis keuangan global.
Salah satu provinsi di Cina, Guizhou, telah mengakumulasi utang sekitar 1,2 triliun yuan atau sekitar US$ 165,7 miliar pada akhir 2022. Rasio utang terhadap PDB Guizhou mencapai 62%, menjadikannya salah satu provinsi dengan beban utang yang sangat besar di Cina. Utang ini berasal dari pemerintah daerah yang menerbitkan surat utang di luar negeri melalui perusahaan investasinya untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur. Sebagian besar surat utang tersebut akan jatuh tempo pada tahun 2023 dan 2024.
Pemerintah Cina dan bank sentralnya sedang bekerja keras untuk menemukan cara untuk menghidupkan kembali perekonomian. Liu Shijin, seorang anggota Dewan Kebijakan Moneter Bank Sentral Cina, menyarankan agar negara ini melakukan reformasi struktural yang mendorong kewirausahaan daripada mengandalkan kebijakan ekonomi makro.
Liu berpendapat bahwa ruang lingkup untuk kebijakan moneter menjadi semakin terbatas, terutama karena perbedaan suku bunga antara Cina dan Amerika Serikat semakin melebar. “Jika Cina terus fokus pada kebijakan makro untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, kemungkinan akan ada efek samping yang lebih banyak,” ujar Liu.
Usulan Liu mencakup reformasi dari sisi permintaan, seperti memberikan akses kepada pekerja migran untuk mendapatkan layanan publik yang selama ini hanya dinikmati oleh penduduk perkotaan. Di sisi pasokan, stimulus akan diberikan untuk mendorong kewirausahaan di berbagai sektor industri.