BagusNews.com –
Pada tanggal 4 Desember 1945, dalam sebuah konferensi pers, Perdana Menteri Sutan Sjahrir menyatakan bahwa campur tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah jalan terbaik untuk memecahkan masalah Indonesia. Sjahrir juga menegaskan bahwa jika Belanda memilih jalan kekerasan, tidak akan ada persetujuan yang akan dicapai. Untuk itu, Sjahrir mengirim surat dan dokumen-dokumen penting kepada Sidang Umum PBB yang pertama pada 10 Januari 1946 di Church House Westminster, London, Inggris. Dalam suratnya, Sjahrir menjelaskan secara rinci masalah Indonesia dan meminta agar masalah tersebut dibicarakan dalam sidang.
Tuntutan Sjahrir ini mendapat tanggapan dari Menteri Luar Negeri Belanda, Eelco van Kleffens, yang hadir dalam Sidang Umum PBB. Van Kleffens menjelaskan kepada wartawan bahwa usulan Indonesia agar masalah Indonesia dibicarakan dalam sidang Dewan Keamanan hanya dapat dilakukan jika usulan tersebut mendapat dukungan dari satu negara anggota PBB.
Usulan Sjahrir pun mendapat respon yang positif. Pada tanggal 21 Januari 1946, Dmitry Manuilsky, ketua utusan Republik Soviet Sosialis Ukraina di PBB, secara resmi mengajukan masalah Indonesia kepada Dewan Keamanan yang sedang bersidang di London. Dalam suratnya kepada Ketua Dewan Keamanan, Manuilsky menyatakan bahwa situasi di Indonesia membahayakan perdamaian dan keamanan dunia. Oleh karena itu, ia mendesak Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan sesuai dengan Pasal 34 Piagam PBB, yang memberikan wewenang bagi Dewan Keamanan untuk menyelidiki setiap konflik yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional.
Surat Manuilsky yang ditujukan kepada PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) telah menarik perhatian internasional terhadap Indonesia. Meskipun pihak resmi Belanda di London tidak senang dengan campur tangan utusan Ukraina tersebut, Manuilsky menjelaskan bahwa ia terlibat dalam isu Indonesia karena menerima banyak telegram dari para pejuang Indonesia yang meminta agar masalah Indonesia segera dibahas di sidang PBB. Pada Sidang Umum PBB tanggal 25 Januari 1946, Manuilsky mendapat dukungan dari Edward Stettinius, utusan Amerika Serikat, dan Abdel Hamid Badawy Pasha, utusan dari Mesir. Maka sidang tersebut memutuskan bahwa isu Indonesia akan dibahas dalam Sidang Dewan Keamanan pada tanggal 28 Januari 1946.
Namun, Sidang Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1946 tidak sesuai rencana dan hanya membahas isu Azerbaijan. Isu Indonesia baru dibahas pada Sidang Dewan Keamanan tanggal 7 Februari 1946. Pada kesempatan tersebut, Manuilsky memberikan pidato panjang dalam bahasa Rusia. Ia mengutip berita dari surat kabar Reuter, Daily Mail, Daily Telegraph, Observer, Times, dan New York Times untuk menjelaskan tindakan militer pasukan Inggris dan India di Indonesia.
Selain mendapatkan informasi dari surat kabar, Manuilsky juga memperoleh informasi tentang Indonesia dari laporan Jane Foster, seorang agen ganda Amerika Serikat dan Uni Soviet. Menurut sejarawan Harry Poeze, Foster telah menyerahkan laporan dari Office of Strategic Services (OSS), lembaga pendahulu CIA, kepada NKVD, polisi rahasia Soviet, pada tahun 1945. Foster adalah anggota Partai Komunis Amerika Serikat dan aktif sebagai agen Soviet selama perang. Ia memberikan bahan-bahannya kepada seorang mata-mata Soviet.
Dengan adanya campur tangan Manuilsky dan perhatian internasional yang semakin meningkat terhadap Indonesia, perjuangan kemerdekaan Indonesia mendapatkan dukungan yang lebih luas. Sidang PBB ini menjadi momen penting dalam upaya Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan internasional dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda.
Jane Foster, seorang agen ganda Amerika Serikat dan Uni Soviet, memberikan pandangannya sendiri dalam penyerahan laporannya. Hal ini dikemukakan oleh Harry Poeze dalam bukunya yang berjudul Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Agustus 1945-Maret 1946. Pandangan Foster digunakan oleh Manuilsky, utusan Ukraina di Dewan Keamanan PBB, dalam makalahnya untuk debat pertama mengenai Indonesia di sidang tersebut.
Sidang Dewan Keamanan mengenai isu Indonesia berlangsung selama enam hari (7, 9-13 Februari 1946). Pada sidang pertama, delegasi Belanda diwakili oleh Eelco van Kleffens yang didampingi oleh penasihat Mr. Zairin Zain dan Sumitro Djojohadikusumo. “Hal ini memang dibenarkan oleh Sumitro,” tulis Rusdhy Hoesein dalam bukunya yang berjudul Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati. “Alasan dilakukannya hal tersebut adalah sulitnya menghubungi Sjahrir. Selain itu, Indonesia tidak memiliki hak untuk hadir dalam Sidang Dewan Keamanan PBB.” Setelah sidang selesai, Sumitro langsung terbang dari London ke Jakarta untuk melaporkan kepada pemerintah Republik Indonesia. Sumitro dan Zairin secara resmi melaporkan hasil sidang kepada Sjahrir pada 14 Maret 1946.
Meskipun mereka hadir sebagai penasihat delegasi Belanda dalam Sidang Dewan Keamanan, “kedatangan mereka tidak terkait dengan pihak NICA (Pemerintah Hindia Belanda), dan khususnya bertujuan untuk melaporkan langsung kepada pemerintah Republik Indonesia mengenai segala hal yang mereka alami di London dalam konteks politik dunia internasional tentang Indonesia,” tulis Soeara Merdeka pada 18 Maret 1946.
Sidang Dewan Keamanan mencoba mengusulkan sebuah resolusi, namun rancangan resolusi yang diajukan oleh delegasi Ukraina, Uni Soviet, dan Mesir ditolak oleh sidang. “Menurut Sumitro, hal ini terjadi karena absennya delegasi Indonesia dalam sidang,” tulis Rushdy.
Manuilsky juga merasa kecewa, “Saya sangat menyesal, karena perwakilan nasional Indonesia tidak hadir di sini untuk memberikan laporan yang akurat dan nyata,” tulis Osman. “Hanya Dewan ini yang memiliki kapasitas untuk menghentikan pertumpahan darah lebih lanjut di sana.”
Dalam setiap sidang, Manuilsky tetap teguh dengan pandangannya bahwa Indonesia dalam keadaan berbahaya sehingga PBB harus campur tangan. Ketika resolusi ditolak, ia mengusulkan agar PBB mengirimkan sebuah komite penyelidik ke Indonesia. Sementara itu, delegasi Inggris, Ernest Bevin, membela delegasi Belanda Eelco van Kleffens, bahwa Indonesia adalah masalah Kerajaan Belanda dan Dewan Keamanan tidak memiliki hak untuk campur tangan.
Dalam sidang terakhir, usulan Ukraina mengenai komite penyelidik disetujui melalui pemungutan suara. Uni Soviet, Polandia, dan Meksiko mendukung usulan Ukraina agar PBB mengirimkan komite penyelidik ke Indonesia, sementara Tiongkok setuju “secara prinsip” dan Australia tidak setuju. Namun, jika Dewan Keamanan memutuskan untuk mengirimkan komite penyelidik, Australia meminta untuk menjadi bagian dari komite tersebut – dan akhirnya Indonesia memilih Australia sebagai perwakilannya dalam Komisi Tiga Negara, sementara Belanda memilih Belgia dan Amerika Serikat dipilih oleh keduanya.
Di sisi lain, Prancis, Inggris, Belanda, Brasil, Mesir, dan Amerika Serikat tidak setuju. Namun, Mesir mengusulkan agar pasukan Inggris tidak boleh menindas gerakan kemerdekaan Indonesia dan harus ditarik setelah misi mereka selesai, serta perundingan antara Indonesia dan Belanda di Jakarta harus dilaporkan kepada Dewan Keamanan. Inggris dan Belanda menolak usulan Mesir tersebut.
Pada tanggal 13 Februari 1946, Persatuan Perjuangan yang diprakarsai oleh Tan Malaka mengirimkan pesan kepada Manuilsky dan Andrei Vyshinsky, delegasi Uni Soviet di PBB. Pesan tersebut disiarkan melalui RRI Solo dan berbunyi sebagai berikut:
“Saudara Manuilsky dan Vyshinsky. Persatuan Perjuangan Rakyat di Jawa, yang mewakili 137 organisasi politik, sosial, ekonomi, dan ketentaraan, telah memperhatikan kesesuaian sikap Anda dalam sidang PBB saat membahas isu Indonesia. Dengan ini, kami ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga dari hati 70 juta rakyat Indonesia yang berjuang untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan tanah air. Kami berharap semoga Anda meraih kemenangan di PBB.”
Keesokan harinya, pada tanggal 14 Februari 1946, Persatuan Perjuangan mengadakan rapat massa di Alun-Alun Utara Yogyakarta, yang kemudian diikuti oleh pawai dan demonstrasi, yang melibatkan tentara dan badan-badan perjuangan. Acara demonstrasi ini dimaksudkan sebagai ungkapan simpati kepada Ukraina dan Rusia, serta peneguhan terhadap tuntutan untuk meraih kemerdekaan 100%, seperti yang ditulis oleh Poeze.
Upaya Ukraina untuk mencapai kemerdekaan dan kedaulatan telah menarik perhatian masyarakat Indonesia pada waktu itu. Keterkaitan perjuangan kedua negara tersebut dalam menghadapi tantangan politik dan upaya untuk mempertahankan kemerdekaan telah menjadi sumber inspirasi bagi rakyat Indonesia.
Dalam konteks yang sama, Partai Masyumi juga turut mengirimkan telegram kepada Manuilsky dan Vyshinsky. Isi telegram tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Partai politik Islam Indonesia Masyumi, yang mengadakan sidang di Surakarta pada bulan Februari 1946, ingin menyampaikan keputusan-keputusan yang telah diambil untuk menyatakan rasa terima kasih kepada tuan-tuan atas perhatian yang diberikan terhadap bangsa Indonesia dan Republik Indonesia. Kami juga mengapresiasi pembelaan yang tuan-tuan tunjukkan terhadap kepentingan dan hak kemerdekaan bangsa Indonesia dalam menghadapi imperialisme Inggris-Belanda di Indonesia. Kami berharap semoga tuan-tuan tidak pernah merasa lelah dalam upaya membela segala bentuk penindasan terhadap bangsa yang berjuang untuk keadilan, kebenaran, dan kemerdekaan di PBB dan di tempat-tempat lain yang tuan-tuan anggap perlu.”
Ketika Ukraina mengajukan usulan agar sengketa Indonesia-Belanda dibahas dalam sidang Dewan Keamanan PBB, hal ini menjadikan sengketa tersebut sebagai konflik internasional sepenuhnya (a full blown international dispute). Keputusan Ukraina ini memberikan bobot dan urgensi yang lebih besar terhadap sengketa yang sedang berlangsung antara Indonesia dan Belanda.
Sebagai negara yang baru saja merdeka, Indonesia berada dalam tantangan yang besar untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaannya dari penjajah. Dalam hal ini, dukungan dan perhatian dari negara-negara lain, termasuk Ukraina, memiliki arti penting dan mendapatkan apresiasi dari rakyat Indonesia.
Dengan mengajukan sengketa ini ke Dewan Keamanan PBB, Ukraina memberikan platform internasional yang relevan untuk membahas konflik antara Indonesia dan Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa sengketa tersebut tidak hanya menjadi perhatian regional, tetapi juga menjadi perhatian dunia.
Dalam konteks ini, Indonesia berharap bahwa melalui forum internasional seperti PBB, masalah sengketa dengan Belanda dapat diselesaikan secara adil dan berkeadilan. Indonesia berharap agar Ukraina dan negara-negara lain yang terlibat dalam pembahasan ini terus memperjuangkan keadilan dan kebenaran, serta mendukung upaya Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan sepenuhnya.
Dalam kesimpulannya, Partai Masyumi turut menyampaikan dukungan dan terima kasih kepada Manuilsky dan Vyshinsky atas perhatian yang mereka berikan terhadap Indonesia. Sementara itu, pengajuan Ukraina agar sengketa Indonesia-Belanda dibahas dalam sidang Dewan Keamanan PBB menjadikan konflik ini sebagai sengketa internasional yang penting. Indonesia berharap agar melalui upaya ini, sengketa dapat diselesaikan dengan cara yang adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan internasional.