BagusNews.com –
Kementerian Perindustrian memperkirakan bahwa kebutuhan nikel sulfat sebagai bahan baku pembuatan baterai litium akan meningkat seiring dengan adopsi kendaraan elektrik atau electric vehicle (EV) di Indonesia. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin, Taufiek Bawazier, menyatakan bahwa kebutuhan nikel sulfat diperkirakan mencapai 59.506 ton pada tahun 2035. Angka ini merujuk pada peta jalan pengembangan kendaraan listrik yang disusun oleh otoritas terkait.
Menurut Taufiek, nikel sulfat sebanyak 25.133 ton diperlukan untuk kendaraan listrik pada tahun 2025 (20% dari total kebutuhan), 37.699 ton pada tahun 2030, dan sekitar 59.506 ton pada tahun 2035. Namun, kapasitas produksi nasional saat ini sudah mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Nikel sulfat atau NiSO4 digunakan sebagai bahan prekursor katoda baterai litium. Bahan ini diperoleh dari pengolahan bijih nikel dengan kadar rendah antara 1,1% hingga 1,5% atau limonit.
Lebih lanjut, Taufiek menjelaskan bahwa perhitungan tersebut didasarkan pada aturan praktis daya baterai yang dibutuhkan untuk kendaraan listrik. Sepeda motor listrik membutuhkan setidaknya 1,44 KWh, sedangkan mobil listrik membutuhkan sekitar 60 KWh. Untuk setiap KWh, diperlukan sekitar 0,7 kg nikel sulfat, 0,096 kg mangan, dan 0,096 kg kobalt.
Taufiek juga menekankan bahwa sekitar 93% bahan baku yang dibutuhkan tersedia di Indonesia, dengan hanya 7% litium yang perlu diimpor. Oleh karena itu, perlu mengembangkan kemampuan dalam negeri untuk memproduksi bahan baku tersebut.
Metode yang umum digunakan untuk memproduksi baterai litium dari nikel adalah hidrometalurgi atau high-pressure acid leach (HPAL). Saat ini, hanya empat fasilitas pemurnian atau smelter yang menggunakan metode ini.
Taufiek berpendapat bahwa perlu meningkatkan investasi dalam smelter nikel berbasis hidrometalurgi. Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, mengurangi impor, serta meningkatkan ekspor yang akan menghasilkan devisa. Indonesia memiliki potensi besar sebagai produsen nikel di dunia, dan perlu mengubah situasi agar investasi lebih banyak masuk ke hilir.