BagusNews.com –
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa China bukan lagi pemberi tunggal terbesar dalam pembiayaan pembangunan di Asia Tenggara setelah pandemi COVID-19.
Lowy Institute telah meluncurkan ‘South-East Asia Aid Map’ atau Peta Bantuan Asia Tenggara, yang melacak pembiayaan untuk lebih dari 100.000 proyek pembangunan yang didanai oleh hampir 100 negara dan organisasi internasional antara tahun 2015 dan 2021.
Menurut lembaga tersebut, Asia Tenggara biasanya menerima sekitar $28 miliar pembiayaan pembangunan per tahun. China menyumbangkan sekitar $5,5 miliar di antaranya, terutama dalam bentuk pinjaman untuk proyek infrastruktur.
Namun, Alexandre Dayant dari Lowy Institute mengungkapkan bahwa China telah tertinggal dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia sejak pandemi COVID-19.
“Iklim ekonomi China telah berubah. Perekonomiannya melambat,” katanya kepada ABC.
“Kini China lebih memprioritaskan pasar domestiknya daripada menghabiskan uang di luar negeri.”
Alexandre juga mencatat bahwa China mengalami kendala dalam beberapa proyek infrastruktur besar di Asia Tenggara, seperti East Coast Rail Link di Malaysia dan Kereta Api Berkecepatan Tinggi Jakarta-Bandung yang tertunda di Indonesia.
Selain itu, China juga merupakan pemberi dana terbesar di Indonesia. Indonesia telah menerima pinjaman sebesar $15,1 miliar dari China antara tahun 2015 dan 2021, jumlah yang melebihi sumbangan dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
Namun, China semakin menyadari bahwa beberapa negara di Asia Tenggara, terutama Laos, telah meminjam dalam jumlah besar dan akan menghadapi kesulitan dalam membayar utang mereka.
“China menggunakan Laos sebagai contoh peringatan bagi negara-negara lain. Sekarang semakin sulit untuk mendapatkan pinjaman dari China karena China menjadi lebih berhati-hati dalam memberikan pembiayaan,” katanya.
Peta bantuan tersebut juga menyoroti peningkatan pembiayaan pembangunan oleh lembaga multilateral besar seperti ADB dan Bank Dunia setelah wabah pandemi, pada saat China mulai menarik diri.
Pemain besar lainnya di Asia Tenggara termasuk Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Uni Eropa, yang semuanya menginvestasikan setidaknya $3 miliar per tahun dalam pembiayaan pembangunan di wilayah tersebut.
Menurut Peta Bantuan Lowy Institute, Australia berada di posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan lembaga dan negara-negara tersebut, tetapi masih menyumbang sekitar $870 juta per tahun dalam bentuk hibah di Asia Tenggara.
Alexandre menyatakan bahwa upaya Australia dalam program bantuan luar negeri di Asia Tenggara, termasuk memberikan pinjaman sebesar A$1,5 miliar kepada Indonesia pada tahun 2020 untuk membantu mengatasi dampak ekonomi pandemi, menunjukkan bahwa Australia mulai menunjukkan ambisi yang lebih besar di kawasan ini.
“Sejak pandemi, Australia menjadi salah satu negara yang merespons dengan cepat dalam memberikan bantuan. Meskipun Australia berperan sebagai pemain kelas menengah, mereka cukup responsif,” ujar Alexandre.
Selama periode 2015 hingga 2021, Indonesia menerima dana hibah sebesar $2,03 miliar dari Australia, menjadikannya sebagai pemberi dana hibah terbesar bagi Indonesia.
“Australia juga merupakan penyedia hibah terbesar ketiga di kawasan ini, setelah Amerika Serikat dan Jepang. Dalam konteks ini, dapat diperdebatkan bahwa pemberian hibah, bukan pinjaman, mencerminkan sejauh mana kedermawanan sebuah negara,” tambah Alexandre.
Namun, Alexandre juga mengatakan bahwa pemerintah federal Australia perlu mempertimbangkan pembentukan sebuah badan baru, mirip dengan Fasilitas Pembiayaan Infrastruktur Australia untuk Pasifik (AIFFP), yang akan memungkinkan Australia memberikan pinjaman lebih besar kepada pemerintah Asia Tenggara yang berkomitmen untuk membangun infrastruktur mereka.
“Jika kita ingin memiliki ambisi yang lebih besar dalam membantu kawasan ini, kita perlu memikirkan cara untuk memperluas cara kita dalam membiayai pembangunan di Asia Tenggara,” katanya kepada ABC.
Meskipun banyak negara di Asia Tenggara telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat dalam beberapa dekade terakhir, didorong oleh investasi swasta, investasi asing, dan aliran remitansi, Alexandre mengatakan bahwa peta bantuan ini menunjukkan betapa pentingnya pembiayaan pembangunan.
“Bagi banyak orang, mungkin mereka berpikir bahwa wilayah ini sudah melampaui kebutuhan bantuan. Namun, pada kenyataannya, ketika melihat bagaimana dana swasta diarahkan, seringkali prioritas seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur tidak mendapatkan perhatian yang cukup,” katanya.
“Karena itu, bantuan dan pembiayaan pembangunan tetap menjadi sangat penting bagi kawasan ini.”