BagusNews.com –
Pada Kamis (29/6/2023), Amerika Serikat menyatakan bahwa membakar kitab suci adalah tindakan yang tidak pantas. Pernyataan tersebut diberikan sebagai respons terhadap pembakaran Alquran di Swedia yang terjadi pada hari pertama perayaan Idul Adha.
“Kami telah mengulangi berkali-kali bahwa membakar kitab suci adalah tindakan yang tidak pantas dan menyakitkan, dan meskipun mungkin diizinkan secara hukum, hal tersebut tidak berarti sesuai,” ujar juru bicara Deputi Departemen Luar Negeri AS, Vedant Patel, saat menjawab pertanyaan tentang tindakan provokatif tersebut.
“Kami akan memberikan kesempatan kepada pemerintah Swedia dan penegak hukum setempat untuk memberikan pernyataan khusus atau umum mengenai insiden ini. Kami terus mendorong Hongaria dan Turki untuk segera meratifikasi protokol bergabungnya Swedia ke dalam NATO, sehingga Swedia dapat segera bergabung dengan aliansi ini,” tambahnya.
Sebelumnya, seorang warga Irak bernama Salwan Monika membakar kitab suci umat Islam di depan sebuah masjid di Stockholm saat perayaan Hari Raya Kurban. Kejadian tersebut terjadi di Masjid Stockholm Medborgarplatsen, di mana Monika pertama-tama melemparkan Alquran ke tanah sebelum membakarnya dan menghina Islam.
Pada tanggal 12 Juni, pengadilan banding Swedia mempertahankan keputusan pengadilan yang lebih rendah untuk membatalkan larangan membakar Alquran. Pengadilan menyimpulkan bahwa polisi tidak memiliki dasar hukum untuk mencegah dua kasus pembakaran Alquran yang terjadi awal tahun ini.
Pada bulan Februari, polisi menolak memberikan izin untuk dua upaya pembakaran Alquran dengan alasan keamanan setelah seorang politisi sayap kanan bernama Rasmus Paludan membakar Alquran di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm pada bulan Januari.
Kedua pelaku yang mencoba melakukan tindakan provokatif di depan kedutaan Irak dan Turki di Stockholm mengajukan banding atas keputusan tersebut.
Pada bulan April, Pengadilan Administrasi Stockholm membatalkan keputusan pengadilan yang lebih rendah dan menyatakan bahwa risiko keamanan tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi aksi demonstrasi.