BagusNews.com –
Indonesia menegaskan tidak akan gegabah mengekspor listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) ke Singapura tanpa jaminan keuntungan bagi Tanah Air. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa ekspor hanya bisa dilakukan jika Singapura turut berinvestasi di Indonesia.
Bahlil menyebutkan bahwa pihaknya masih menahan rencana ekspor listrik hijau ke Negeri Singa karena belum adanya kepastian manfaat bagi Indonesia. Ia juga menyoroti tuntutan Singapura terkait teknologi carbon capture storage (CCS), yang menurutnya harus diimbangi dengan investasi nyata dari pihak Singapura.
“Singapura harus investasi bareng. Jangan cuma minta listrik EBT, terus kita yang harus penuhi CCS, sementara kita dapat apa?” tegas Bahlil dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (21/2/2025).
Bahlil menambahkan bahwa Indonesia siap berbagi energi dengan Singapura, namun kesepakatan harus menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karena itu, pemerintah mensyaratkan agar ekspor listrik hanya dapat dilakukan jika Singapura turut membangun industri hulu hingga hilir, termasuk panel surya dan sistem penyimpanan energi baterai (SPEB) di Indonesia.
Singapura Diminta Serius Berikan Tawaran
Dalam pertemuan dengan salah satu Menteri Singapura, Bahlil menegaskan bahwa RI menunggu proposal konkret dari Singapura sebelum memberikan lampu hijau untuk ekspor listrik hijau dari Kepulauan Riau ke negara tersebut.
“Kalau Singapura sudah punya proposal jelas untuk Indonesia, kita bisa percepat. Tapi kalau cuma tanya terus, kita maunya adil. Harus sama-sama untung,” kata Bahlil.
Saat ini, Indonesia telah memiliki kesepakatan ekspor listrik hijau dan pengembangan industri panel surya dengan Singapura senilai US$20 miliar atau sekitar Rp308 triliun (kurs Rp15.423 per dolar AS). Namun, hingga kini belum ada kesepakatan final yang mengikat.
Dalam agenda International Sustainability Forum (ISF) 2024, otoritas Singapura melalui Energy Market Authority (EMA) telah memberikan persetujuan bersyarat kepada dua perusahaan, yakni Total Energies & RGE serta Shell Vena Energy Consortium, untuk mengimpor listrik rendah karbon dari Indonesia.
Sebelumnya, lima perusahaan lain—Pacific Metcoal Solar Energy, Adaro Solar International, EDP Renewables APAC, Venda RE, dan Kepel Energy—juga telah mendapat izin serupa dari Singapura. Namun, menurut Bahlil, hingga kini belum ada kesepakatan yang benar-benar menguntungkan Indonesia secara resmi.
“Kami ingin win-win solution. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi pemasok tanpa mendapatkan manfaat yang setimpal,” pungkasnya.
Dengan sikap tegas pemerintah, akankah Singapura akhirnya bersedia memenuhi syarat Indonesia? Kita tunggu langkah selanjutnya!