BagusNews.com –
Nilai Rupiah hampir kehilangan seluruh penguatannya sepanjang tahun ini karena terdampak oleh turbulensi global dan berbagai sentimen negatif, yang membuat investor di seluruh dunia menjadi khawatir.
Sentimen negatif ini mencakup kekhawatiran akan kenaikan suku bunga di Amerika Serikat, bersama dengan ketakutan akan terjadinya resesi di negara dengan ekonomi terbesar di dunia akibat kebijakan moneter yang ketat. Krisis properti di China juga telah menambah beban terhadap ekonomi global, yang membuat Rupiah kesulitan untuk menguat.
Saat ini, nilai tukar Rupiah diperdagangkan di kisaran Rp15.535/US$ pada pukul 11:34 WIB pada Rabu (26/9/2023). Hal ini membuat Rupiah hanya berjarak 96 basis poin dari level terlemah tahun ini yang terjadi pada 6 Januari lalu. Jika level tersebut terlewati, maka Rupiah akan kehilangan semua keuntungan yang diperoleh sepanjang tahun ini.
Pelemahan nilai tukar ini sangat berbahaya bagi perekonomian, karena dapat membuat harga barang-barang impor menjadi lebih mahal. Rupiah yang terus melemah juga berarti bahwa Dolar Amerika menjadi lebih mahal, yang akan memberikan beban lebih besar pada neraca pembayaran Indonesia, terutama karena negara ini masih sangat bergantung pada impor minyak untuk memenuhi kebutuhan energi.
Harga barang-barang impor dari luar negeri akan naik karena pelemahan Rupiah, yang berpotensi menimbulkan inflasi akibat impor (inflasi impor).
Masyarakat Indonesia juga akan merasakan dampak buruk dari pelemahan Rupiah ini, karena harga barang-barang kebutuhan pokok akan meningkat. Jika kenaikan harga tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan, maka daya beli masyarakat akan tergerus.
Badan Pusat Statistik mencatat bahwa nilai impor Indonesia pada bulan Agustus mencapai US$ 18,88 miliar, yang merupakan penurunan baik secara bulanan dibandingkan dengan bulan Juli maupun dibandingkan dengan Agustus 2022.
Meskipun secara keseluruhan impor mengalami penurunan, impor barang konsumsi adalah satu-satunya yang mengalami peningkatan pada bulan Agustus. Hal ini terjadi karena belanja masyarakat mulai pulih.
Impor barang konsumsi tumbuh sebesar 15,47% year-on-year dan 2,2% dibandingkan dengan bulan Juli 2023. Di sisi lain, impor barang modal dan bahan baku/penolong mengalami penurunan.
Indonesia masih menjadi negara pengimpor minyak karena lebih banyak impor daripada ekspor minyak, gas, dan produk turunannya. Impor minyak oleh PT Pertamina Persero setiap bulannya memiliki dampak signifikan pada pasar valuta asing, karena membutuhkan dolar Amerika yang besar. Dengan nilai tukar Rupiah yang semakin lemah, ada kemungkinan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi setelah kenaikan pada awal bulan ini.
Kenaikan harga BBM yang disebabkan oleh pelemahan nilai tukar Rupiah dan kenaikan harga minyak mentah dunia juga akan mempengaruhi harga BBM di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta. Hal ini dapat mendorong masyarakat untuk beralih menggunakan BBM subsidi seperti Pertalite, yang pada akhirnya akan meningkatkan subsidi energi negara.
Selain itu, proyeksi penurunan produksi beras dalam negeri di sisa tahun ini akan membuat Indonesia semakin bergantung pada impor beras. Pembelian beras dari luar negeri membutuhkan valuta asing, dan dengan pelemahan Rupiah, harga beras bisa menjadi lebih tinggi.
Tidak hanya itu, impor barang-barang konsumsi lainnya juga dapat menyebabkan risiko inflasi. Nilai impor bahan makanan selama Januari-Juni 2023 mencapai US$ 11,15 miliar, sementara impor minuman dan tembakau mencapai US$ 437,7 juta. Ini menunjukkan bahwa barang-barang konsumsi merupakan komponen utama impor.
Beberapa komoditas konsumsi yang masih banyak diimpor antara lain daging sapi, gula, sereal, coklat, beras, kain, dan bahan tekstil lainnya. Sebagai contoh, impor sereal selama Januari-Juni 2023 mencapai US$ 2,58 miliar, dengan nilai US$ 412,43 juta hanya pada bulan Juni.
Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah yang berlanjut sejak Mei lalu dan semakin memburuk, menunggu tindakan dari Bank Indonesia, yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Meskipun Bank Indonesia telah melakukan lelang instrumen baru bernama Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) mulai tanggal 15 September, upaya tersebut belum memberikan dampak signifikan dalam menguatkan Rupiah. Dana asing masih terus keluar dari pasar.
Kepemilikan surat berharga negara (SBN) oleh investor asing terus berkurang, mencapai Rp833,5 triliun pada tanggal 25 September, menurut data Kementerian Keuangan. Sementara itu, pemodal asing masih memiliki posisi beli bersih yang signifikan di pasar surat utang, mencapai Rp75,46 triliun sepanjang tahun 2023. Di pasar saham, mereka masih mencatatkan penjualan bersih pada periode yang sama, tetapi ada pembelian bersih di SRBI.
Tidak ada aliran dana baru yang masuk pada bulan Agustus, tetapi investor asing hanya memindahkan dana dari SBN ke SRBI. Data dari Bank Indonesia pada tanggal 25 Agustus menunjukkan bahwa posisi beli bersih non-residen masih mencapai Rp85,83 triliun, sedangkan posisi penjualan bersih di pasar saham mencapai Rp630 miliar.
Total emisi SRBI dalam tiga lelang yang diadakan pada tanggal 15, 20, dan 22 September mencapai Rp52,7 triliun. Sementara itu, kepemilikan asing di SBN pada tanggal 14 Agustus mencapai Rp837,65 triliun, kemudian turun menjadi Rp837,65 triliun pada tanggal 21 September, dan turun lagi sebesar Rp1,4 triliun pada saat lelang SRBI dilaksanakan. Pada tanggal 25 September, posisi asing di SBN tinggal Rp833,5 triliun.
Meskipun upaya untuk menarik lebih banyak valuta asing melalui kebijakan penempatan devisa hasil ekspor (DHE) sudah dimulai sejak Agustus, hal tersebut belum memberikan dampak besar meskipun ada peningkatan dalam grafik penempatan.
Selama bulan ini hingga tanggal 26 September, total nilai DHE yang berhasil ditarik melalui operasi moneter TD Valas DHE yang digelar oleh Bank Indonesia mencapai US$ 892,75 juta, termasuk nilai rollover deposito. Namun, dengan terus menurunnya tren ekspor, kebijakan ini mungkin terlambat.