BagusNews.com –
Presiden Joko Widodo akan mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden segera.
Isu yang akan dibahas adalah diskriminasi nikel Indonesia dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA) tahun 2022.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, pertemuan bilateral tersebut akan terjadi di sela KTT G7 di Hiroshima, Jepang pada tanggal 19-21 Mei 2023.
Melalui UU tersebut, Pemerintah AS memberikan subsidi bagi komoditas mineral yang digunakan untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik, termasuk di antaranya adalah nikel.
Dana yang akan digelontorkan untuk subsidi tersebut mencapai US$370 miliar. Namun, keputusan AS mengecualikan mineral kritis RI dari insentif tersebut akan merugikan industri dalam negeri AS.
Hampir 50% dari bahan baku baterai listrik di negara tersebut berasal dari Indonesia.
Luhut menjelaskan bahwa hanya karena Indonesia tidak memiliki kesepakatan perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) bilateral dengan AS, negara tersebut mengecualikan nikel dari program insentifnya.
Dia juga menambahkan bahwa Indonesia harus mencari model kerja sama lain agar bisa ekspor nikel ke AS, misal dengan limited FTA.
Sebagai upaya antisipasi atau mengurangi dampak dari kebijakan tersebut, Indonesia harus memanfaatkan perjanjian dagangnya dengan negara-negara potensial tujuan ekspor hasil pengolahan awal bijih nikel.
Indonesia juga punya posisi tawar yang lebih tinggi dibandingkan dengan AS selaku pemasok bahan mentah karena Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia.
Berdasarkan data USGS pada Januari 2020 dan Badan Geologi 2019, jumlah cadangan nikel RI tercatat mencapai 72 juta ton nikel, termasuk nikel limonit atau kadar rendah.
Jumlah ini mencapai 52% dari total cadangan nikel dunia sebesar 139,41 juta ton nikel.