BagusNews.com –
Mengapa Rencana Akuisisi Jet Tempur Su-35 oleh Indonesia Gagal
Beberapa tahun lalu, Indonesia mengemuka dengan niatnya untuk mengakuisisi jet tempur Rusia, yaitu Su-35. Rencana ini telah digaungkan sejak tahun 2017. Namun, seiring berjalannya waktu, rencana akuisisi ini ternyata menghadapi kendala yang sulit diatasi. Ada beberapa faktor yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab kegagalan tersebut.
1. Tantangan dalam Pembayaran:
Indonesia awalnya berniat membayar 50 persen biaya akuisisi Su-35 melalui komoditas seperti kopi dan kelapa sawit, sedangkan sisanya dalam bentuk uang tunai. Namun, tawaran ini menemui keberatan, terutama dari Menteri Perdagangan saat itu, Enggarstiasto Lukita. Ia berpendapat bahwa komoditas seperti karet mentah tidak memiliki nilai tambah yang sebanding dengan nilai tambah yang dimiliki oleh jet tempur Su-35.
2. Tekanan Internasional:
Faktor lain yang ikut memengaruhi kegagalan deal antara Indonesia dan Rusia terkait Su-35 adalah tekanan dari Amerika Serikat (AS). Ada indikasi bahwa Indonesia terkena dampak aturan internasional AS yang dikenal sebagai CAATSA. Aturan ini melarang negara-negara tertentu membeli senjata dari Rusia, Korea Utara, dan Iran, terutama jika pembayaran dilakukan dalam mata uang selain Dolar AS. Karena AS adalah salah satu mitra dagang penting Indonesia dan memiliki kendali atas beberapa komponen suku cadang pesawat F-16 yang dimiliki Indonesia, tekanan ini memiliki dampak yang signifikan.
3. Kelemahan Jet Tempur Su-35:
Selain faktor eksternal, ada juga pertimbangan teknis terkait kualitas jet tempur Su-35 yang mungkin menjadi alasan Indonesia membatalkan rencana akuisisinya. Ada beberapa klaim tentang kelemahan dalam spesifikasi Su-35. Klaim pertama datang dari Kementerian Pertahanan China, yang menyatakan bahwa Su-35 hanya memiliki keunggulan pada radius tempur, sementara memiliki banyak kelemahan dalam hal radar, sistem navigasi, dan komponen elektronik lainnya.
Pakar penerbangan Abhirup Sengupta bahkan menyebut Su-35 sebagai jet tempur yang paling terlalu dipromosikan. Ia menyoroti bahwa Su-35 tidak memiliki radar AESA, yang merupakan standar pada jet tempur modern. Radar AESA memiliki kemampuan untuk melacak banyak target secara bersamaan, sementara radar PESA yang digunakan oleh Su-35 hanya mampu melacak satu target. Bahkan, radar PESA ini dinilai memiliki teknologi sebanding dengan radar yang digunakan pada tahun 1980-an.
Selain itu, radar PESA Su-35 juga dikritik karena kerentanannya terhadap jamming atau serangan perang elektronik. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang daya tahan dan kehandalan radar tersebut dalam situasi pertempuran modern.
Dalam skenario akhirnya, meskipun rencana akuisisi jet tempur Su-35 oleh Indonesia telah mengalami kebuntuan, tampaknya negara ini tidak akan kehilangan banyak hal. Pasalnya, berdasarkan penilaian beberapa pakar, jet tempur Rusia ini tidak memberikan keunggulan yang signifikan bagi kebutuhan pertahanan Indonesia. Semua faktor ini, baik dari segi pembayaran, tekanan internasional, maupun pertimbangan teknis, telah berkontribusi pada kegagalan rencana akuisisi ini.